Bahasa Sunda Di Tapal Batas Dayeuhluhur
Bahasa Sunda sebagai bagian dari budaya suatu masyarakat tidak dapat mengelak dari batasan-batasan wilayah administratif. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan bahasa Sunda juga sangat ditentukan oleh kebijakan pusat (dalam hal ini pemerintah provinsi) dan daerah (pemerintah daerah). Akibatnya, keberadaan bahasa Sunda di suatu wilayah tertentu yang berbeda secara administrasi politik nyaris mati atau justru "dimatikan".
Persoalan penggunaan bahasa Sunda di tapal batas administrasi politik ini menjadi topik yang sekarang sedang ramai dibicarakan di wilayah Cilacap Barat, terutama kecamatan Dayeuhluhur, Wanareja dan Majenang. Bahasa Sunda yang berada di wilayah perbatasan atau berada di suatu wilayah yang berbeda secara administrasi politik sering kali pada akhirnya menjadi bahasa minoritas. Parahnya, indikasi tersebut didukung pola kebijakan Pemerintah daerah.
Walaupun secara bahasa dan budaya, Dayeuhluhur masuk wilayah tatar Pasundan (Jawa Barat), tapi pada kondisi ini, keberadaan bahasa Sunda Dayeuhluhur menjadi bahasa minoritas. Pola pendidikan kebahasaan lewat muatan lokal (mulok) yang digunakan harus mengikuti kebijakan kebahasaan wilayah tersebut, yakni Bahasa Jawa. Kebaradaan bahasa Sunda pada akhirnya menjadi bahasa minoritas. Padahal secara budaya, masyarakat Dayeuhluhur adalah pemakai bahasa Sunda. Namun secara administratif, wilayah itu berada di daerah Jawa. Masyarakat Dayeuhluhur, terutama siswa, pada akhirnya “dipaksa” menggunakan bahasa daerah Jawa.
Belenggu bahasa Sunda di Dayeuhluhur itu seharusnya memang tidak perlu terjadi. Keberadaan suatu bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut seharusnya memang tidak perlu dibatasi secara wilayah administratif. Apalagi, dengan terus bergulirnya kemajuan internet ke setiap lini kehidupan di mana pun sudah memupus kepentingan persoalan batasan wilayah tersebut. Perkembangan dan kemajuan suatu bahasa tidak diukur batasan wilayah administratif di mana bahasa tersebut berada.
Perkembangan dan kemajuan bahasa sangat ditentukan kebiasaan budaya baca tulis masyarakat pemakai bahasa tersebut. Semakin banyak masyarakat tersebut membaca dan menulis karya-karya yang dibuat para pengarang dalam bahasa tersebut, bahasa itu pun akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat budaya baca dan tulis masyarakat, tunggulah kepunahan bahasa tersebut.
Meski demikian, kebiasaan baca tulis masyarakat tersebut secara langsung ataupun tidak akan sangat bergantung kepada bahan bacaan yang tersedia. Namun sayangnya, di Dayeuhluhur, ketersediaan buku dan sumber bacaan Sunda sangat terbatas. Lebih parahnya lagi, masyarakat yang sudah melek media juga sangat terbatas. Sumber bahan ajar masih dipandang harus berasal dari buku. Kalaupun sarana multimedia seperti internet sudah masuk sekolah, terkendala kemampuan guru dalam menguasai teknologi perangkat tersebut.
Perkembangan suatu bahasa nantinya akan mengarah pada bahasa hibrida, di mana setiap bahasa akan saling memengaruhi satu sama lain sehingga identitas itu sudah tidak ada. Persoalan batasan wilayah administratif pun ambruk dan tidak ada lagi bahasa minoritas atau "diminoritaskan". Kalaupun masih tersisa perbedaan, hanya terletak pada dialek (cara pengucapan bahasa tersebut). Contohnya, penutur bahasa Sunda asal Jawa Barat tentu akan berbeda dengan penutur bahasa Sunda asal Dayeuhluhur. Ada kata-kata khusus yang membedakan di antara keduanya. Bahasa hibrida seperti ini, tidak perlu dikhawatirkan karena sesuai sifatnya, bahasa selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Begitu juga dari sisi perubahan mental dan moral pemakai bahasa tersebut.
Namun, meski sifat bahasa selalu berubah dan beradaptasi dengan perubahan tersebut, nilai-nilai budaya masyarakat yang terkandung dalam bahasa tersebut tidak akan pupus. Kini, persoalannya adalah bagaimana Disdikpora Cilacap selaku pemegang regulasi pendidikan dan masyarakat yang peduli dengan keberadaan bahasa Sunda di perbatasan Dayeuhluhur memberi wawasan kepada masyarakat, terutama kalangan terdidik, dalam memahami keberadaan bahasa Sunda di Dayeuhluhur agar lebih tercerahkan?
Persoalan penggunaan bahasa Sunda di tapal batas administrasi politik ini menjadi topik yang sekarang sedang ramai dibicarakan di wilayah Cilacap Barat, terutama kecamatan Dayeuhluhur, Wanareja dan Majenang. Bahasa Sunda yang berada di wilayah perbatasan atau berada di suatu wilayah yang berbeda secara administrasi politik sering kali pada akhirnya menjadi bahasa minoritas. Parahnya, indikasi tersebut didukung pola kebijakan Pemerintah daerah.
Walaupun secara bahasa dan budaya, Dayeuhluhur masuk wilayah tatar Pasundan (Jawa Barat), tapi pada kondisi ini, keberadaan bahasa Sunda Dayeuhluhur menjadi bahasa minoritas. Pola pendidikan kebahasaan lewat muatan lokal (mulok) yang digunakan harus mengikuti kebijakan kebahasaan wilayah tersebut, yakni Bahasa Jawa. Kebaradaan bahasa Sunda pada akhirnya menjadi bahasa minoritas. Padahal secara budaya, masyarakat Dayeuhluhur adalah pemakai bahasa Sunda. Namun secara administratif, wilayah itu berada di daerah Jawa. Masyarakat Dayeuhluhur, terutama siswa, pada akhirnya “dipaksa” menggunakan bahasa daerah Jawa.
Belenggu bahasa Sunda di Dayeuhluhur itu seharusnya memang tidak perlu terjadi. Keberadaan suatu bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut seharusnya memang tidak perlu dibatasi secara wilayah administratif. Apalagi, dengan terus bergulirnya kemajuan internet ke setiap lini kehidupan di mana pun sudah memupus kepentingan persoalan batasan wilayah tersebut. Perkembangan dan kemajuan suatu bahasa tidak diukur batasan wilayah administratif di mana bahasa tersebut berada.
Perkembangan dan kemajuan bahasa sangat ditentukan kebiasaan budaya baca tulis masyarakat pemakai bahasa tersebut. Semakin banyak masyarakat tersebut membaca dan menulis karya-karya yang dibuat para pengarang dalam bahasa tersebut, bahasa itu pun akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat budaya baca dan tulis masyarakat, tunggulah kepunahan bahasa tersebut.
Meski demikian, kebiasaan baca tulis masyarakat tersebut secara langsung ataupun tidak akan sangat bergantung kepada bahan bacaan yang tersedia. Namun sayangnya, di Dayeuhluhur, ketersediaan buku dan sumber bacaan Sunda sangat terbatas. Lebih parahnya lagi, masyarakat yang sudah melek media juga sangat terbatas. Sumber bahan ajar masih dipandang harus berasal dari buku. Kalaupun sarana multimedia seperti internet sudah masuk sekolah, terkendala kemampuan guru dalam menguasai teknologi perangkat tersebut.
Perkembangan suatu bahasa nantinya akan mengarah pada bahasa hibrida, di mana setiap bahasa akan saling memengaruhi satu sama lain sehingga identitas itu sudah tidak ada. Persoalan batasan wilayah administratif pun ambruk dan tidak ada lagi bahasa minoritas atau "diminoritaskan". Kalaupun masih tersisa perbedaan, hanya terletak pada dialek (cara pengucapan bahasa tersebut). Contohnya, penutur bahasa Sunda asal Jawa Barat tentu akan berbeda dengan penutur bahasa Sunda asal Dayeuhluhur. Ada kata-kata khusus yang membedakan di antara keduanya. Bahasa hibrida seperti ini, tidak perlu dikhawatirkan karena sesuai sifatnya, bahasa selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Begitu juga dari sisi perubahan mental dan moral pemakai bahasa tersebut.
Namun, meski sifat bahasa selalu berubah dan beradaptasi dengan perubahan tersebut, nilai-nilai budaya masyarakat yang terkandung dalam bahasa tersebut tidak akan pupus. Kini, persoalannya adalah bagaimana Disdikpora Cilacap selaku pemegang regulasi pendidikan dan masyarakat yang peduli dengan keberadaan bahasa Sunda di perbatasan Dayeuhluhur memberi wawasan kepada masyarakat, terutama kalangan terdidik, dalam memahami keberadaan bahasa Sunda di Dayeuhluhur agar lebih tercerahkan?
Ditulis oleh: Nana Suryana
setuju kang, siapa lagi kalau bukan kita urang sunda yang mencintainya.
BalasHapusmohon ijin ng'link gambarna kang
silahkan kang makasih kunjunganya
BalasHapusSalam ti urang Karawang ka sadulur nu aya di Dayeuhluhur, budayakan tidak malu berbahasa Sunda!
BalasHapusdayeuh luhur atos ka koncara di tatar parahyangan sunda lebet na ka urang sunda sanes jateng hehehe
BalasHapus